Berani Gagal, Mengapa Tidak?

                          "Berani Gagal"
Ayahku menganjurkan saya masuk Tentara, "Anakku melamarlah kau jadi tentara, supaya ada anak Ayah pemberani, bisa melawan musuh! Lagi pula, ketika kau pulang natal dan tahun baru, ada baret di kepalamu, pisau sangkur terselip di pinggangmu, dan mengenakan sepatu tentara, bapak sudah bangga" ucapnya polos.  Setamat SMA,  bulan Oktober 1990 saya memberanikan diri mengikuti seleksi calon tantama (Catam) TNI AD dari Makorem Padang Sumatera Barat. Selama persiapan itu saya latihan renang di kolam renang Teratai, untuk sekedar bisa melewati 50 meter. Giat belajar soal tes kemampuan akademik,  mental dan maupun psikotes. Kami dibimbing saudara sepupu S. Nababan,  pangkat Serka TNI AD kala itu.

Berbagai contoh soal diujikan,  saya optimis bisa lulus. Apalagi saya jurusan Fisika dari  SMA Negeri Siborongborong.  Jurusan fisika (A1) waktu itu cukup bergengsi. Sementara ijazah yang digunakan mendaftar calon tantama hanya ijazah SMP.

Maksud hati memeluk gunung, apa daya,  tangan tak sampai.   Masih tes kesehatan (tahap pertama), saya gagal dinyatakan tidak memenuhi syarat. Pupus harapan tidak bisa mengangkat senjata.  Sedih,  malu, marah campur rasa rendah diri menjadi beban psikologis di usia muda kala itu. 

Dengan rasa kesal aku pulang kampung,  dan protes pada Ayah: "Kenapa ayah suruh aku jadi tentara,  malu jadinya sama teman-teman", Ayah bilang "Syukurlah Nak kau memiliki rasa malu, tetapi perlu kau ketahui, Ayah lebih malu lagi kalau kau tidak melakukan apapun".

Jawaban ayah yang hanya mengecap pendidikan kelas 6 SR (Sekolah Rakyat) itu, menjadi spirit baru bagi saya. Bulan Oktober 1991, saya ikut tes CPNS Gol II di Kanwil Dep. Kehakiman Sumatera Utara. Bulan Juni 1992 ikut tes CPNS di Makodam I/BB Medan,  syukur kedua-duanya kalah. 

Terakhir, bulan Desember 1992 saya mengikuti tes CPNS Golongan I (Ijazah SMP) di Kanwil Dep. Kehakiman Jl. Putri Hijau Medan. Masih segar diingatan, kami ujian di tengah panas terik lapangan terbuka Stadion Teladan. Menunggu hasil ujian, saya sudah berketetapan hati apabila lulus kembali ke Medan, sebaliknya jika kalah saya menjadi petani. Semua baju  sudah saya bungkus dan bawa ke kampung, bersamaan dengan mudik tahun baru 1993.

Pada tanggal 15 Januari 1993, saya minta tolong ayah membeli koran SIB (Sinar Indonesia Baru) di Siborongborong. Hari itu, pengumuman.  Saya lagi membajak sawah. Saya menyaksikan ternyata saya lulus. Dengan riang gembira kami pulang ke rumah, tangkap ayam jantan, disembelih sebagai tanda ucapan syukur bersama keluarga.  "Ma, Pak saya tidak jadi bertani, saya balik ke Medan iya" pamitku saat itu.

Saya CPNS Golongan I/B,  di PTUN Medan,  dengan tugas pokok sebagai Satpam (jaga kantor siang dan malam) mendapat gaji Rp52.000,- (lima puluh dua ribu rupiah). Cukuplah setiap hari makan nasi bungkus.

Terlalu sakit,  saya memberanikan diri kuliah sore walapun gaji tidak mencukupi. Ya, saya alumni "MAHUSOR",  (mahasiswa hukum sore) dari Universitas Dharmawangsa Medan. Indeks prestasi hanya 2.83, maklum kurang gizi saat kuliah sering ngantuk.

Tidak berselang lama, bulan Oktober 1998 ada penerimaan Calon Hakim dari PNS. Tidak melewatkan kesempatan itu, saya ikut tes dari Banda Aceh. Lulus tes kemampuan akademik, berangkat ke Jakarta mengikuti wawancara, psikotes dan kepribadian.

Cek isi dompet, ongkos tidak cukup. Saya pulang kampung melapor ke orang tua.  Ayah dan Ibu bilang, "Amang berangkatlah,  kami akan usahakan ongkosmu". Mereka lalu jual 3 ekor ternak lomok-lomok. Hasil penjualannya cukup buat ongkos.  

Dengan doa dan puasa,  saya bersama seniorku Jahoras Siringoringo (sekarang Hakim PN Pontianak) naik kapal Sinabung dari Belawan.   Puji Tuhan setelah mengikuti seluruh rangkaian tes,  ternyata saya dinyatakan lulus.

Ketika itu saya ditelepon oleh Nikson Hutasoit Pegawai Pengadilan Tinggi Medan (sekarang Panitera Pengganti PN Medan). "Berapa nomor ujianmu Lae?" saya jawab "Nomor 24/BA", lalu dia katakan "Selamat, Lae Lulus!". Memang waktu itu nama peserta yang lulus ditempelkan di setiap papan pengumuman Pengadilan Tinggi.  Saking senangnya mendapat kabar itu,  saya  menahan tangis di kamar mandi.  Ternyata Tuhan memberikan yang terbaik melebihi dari apa yang saya pikirkan. 

Bulan Juni 1999 masuk Pusdiklat Dep.  Kehakiman dan HAM di Cinere.  Selama dua minggu pertama, kami digembleng habis-habisan latihan dasar militer (Latsatmil) di Markas Marinir Cilandak Jakarta Selatan. Dilatih  prajurit-prajurit terbaik dari Marinir, maupun pasukan Intai Amfibi.

Kesempatan ini tidak aku sia-siakan mengangkat senjata,  baik laras panjang maupun laras pendek. Kami mahir bongkar pasang senjata, serta membidik sasaran. 

Sering saya dengar nasihat orang bijak, Hidup adalah perjuangan,  hidup adalah pilihan. Kegagalan adalah hal biasa,  yang luar biasa bisa belajar dari setiap kegagalan.

Jangan pernah bercita-cita untuk sukses, karena sukses itu bukanlah tujuan, melainkan proses perjuangan dan perjalanan hidup.   Tetapi buatlah cita-citamu setinggi bintang di langit. Karena sekiranya engkau terjatuh, engkau jatuh di antara para bintang. Tetaplah berjalan.

Tetap Semangat dan Antusias


Tepat 11 Juni 2017, Ayahku T. Nababan (Omp. Tifany Saulina Nababan) berusia 70 tahun, semangatnya tetap membara,  lihatlah link Youtube berikut. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN