Drs. V. Lumbangaol, Sosok Guru Di Atas Garis

 Drs. V. LUMBANGAOL, SOSOK GURU DI ATAS GARIS 

*Derman P. Nababan

SMA Negeri Siborongborong, satu-satunya SMA Negeri di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara kala itu. Sekolah ini berdiri tanggal 6 April 1956 di atas lahan seluas 14.100 meter persegi, beralamat di Jalan Sisingamangaraja No. 153 Siborongborong. Namun, seiring dengan berdirinya SMA Negeri 2 Siborongborong, sejak tahun 2006 sekolah ini berubah nama menjadi SMA Negeri 1 Siborongborong.

Selain sekolah berkualitas, juga dikenal sebagai pusat Sanggar Pemantapan Kerja Guru (SPKG) IPA se-Tapanuli. Bertengger guru IPA dan Matematika yang brilian, misalnya bapak M. Siahaan (MS) sebagai Guru Matematika dan Bapak Viktor Lumban Gaol (VL) sebagai guru Fisika. Mereka juga pengajar guru-guru Matematika dan Fisika di SPKG tersebut. Selain itu, ada guru Ilmu Ekonomi yang sangat brilian, Bapak Drs. Binton Nababan. Beliau adalah ayahanda Nikson Nababan, M.Si., Bupati Tapanuli Utara saat ini. 

Walau sekolah ini terletak di Desa Sitabotabo, namun banyak alumni sekolah ini menduduki jabatan strategis. Sebutlah Syukur Nababan, S.T Anggota DPR RI, Dr. R.E. Nainggolan, M.M, Mantan Bupati Tapanuli Utara dan Mantan Sekretaris Daerah Sumatera Utara, dan Nikson Nababan, M.Si saat ini Bupati Tapanuli Utara untuk periode kedua. Drs. Maruap Siahaan, MBA, Ketua Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) juga tercatat sebagai alumni sekolah, yang kini dipimpin oleh Drs. Alpa Simanjuntak.  

Tahun 1987, saya masuk sekolah ini duduk kelas I.5. Sadar akan kesulitan yang dihadapi para petani, saya tertarik untuk memajukan teknik pertanian. Menjelang kenaikan kelas II, saya berkeinginan memilih jurusan biologi. Namun, wali kelas kami Ibu Whinetty Ritonga, S.Pd memanggil saya. “Derman harus masuk jurusan Fisika, soalnya dari kelas kita belum ada yang memilih jurusan itu, nanti ibu malu lho,” tegasnya.  “Sintong Hutasoit sebagai juara satu kelas ngotot masuk jurusan biologi.  Jadi, satu-satunya Derman harus masuk A.1” harapnya. 

Terlalu berat, jurusan A1 (fisika) bukanlah pilihan sadar saya. Namun, karena dorongan wali kelas, saya bersedia. Masuk jurusan A1 bersama 24 orang teman, diantaranya 4 orang wanita, yaitu Gorianna Purba, Eva Nababan, Hondang Lumbantoruan dan Tumiar Rajagukguk. 

Guru pengajar ilmu fisika, Bapak Drs. Viktor Lumban Gaol, kami memanggilnya Pak Ve-El. Kulitnya birong galot ‘hitam pekat’, raut wajahnya ketat. Selain itu beliau jarang senyum, apalagi tertawa. Di lain sisi, beliau pintar, disiplin dan tegas. Kelas II A1 berkumpul semua juara-juara, dari kelas 1.1 sampai kelas 1.7. Mereka jago matematika dan fisika, misalnya Ronald Lumban Raja, Jurkes Panjaitan, Rivai Simanjuntak, Gorianna Purba, Dapot Lubis, Marnot Silitonga dan lain-lain. “Setidaknya mereka bisa menjadi tempat saya bertanya,” pikirku kala itu. 

Sorot matanya tajam, bagaikan mata burung rajawali, sehingga tidak seorang pun siswa berani beradu tatap. Beliau mengajar dengan suara lantang, tegas penuh wibawa. Siswa harus menjawab pertanyaannya, dengan kata “betul” bukan “benar.” Jika dijawab dengan kata “benar” beliau marah, “Bukan benar, tetapi betul!” katanya meluruskan. Setiap menjawab pertanyaan juga harus disertai dengan alasan. Biasanya “alasan” itu yang lebih susah diuraikan. 

Putera, kelahiran Janji Maria, Onan Ganjang, Humbang Hasundutan, 13 Agustus 1954 ini, tidak pernah absen mengajar dan selalu on time masuk ruangan kelas. Belum sempat duduk, beliau langsung membuat soal di papan tulis, sehingga tidak ada kesempatan sedikit pun bagi siswa untuk lengah apalagi bersantai. Jika ada siswa ketahuan melamun atau sebaliknya mengobrol, Pak Ve-El tidak segan-segan menegur. “Kau, Perhatikan baik-baik!” tegasnya sambil melemparkan kapur tulis. Sehingga suasana ruang kelas jadi hening. “Sekiranya ada jarum terjatuh, pasti kedengaran. Satu orang siswa pun tidak boleh bicara, kecuali diminta menjawab soal LKS (Lembar Kegiatan Siswa),” kenang Rivai Simanjuntak, Widyaiswara di Medan, dalam percakapan Group WhatsApp Alumni A1 1990. “Perlu kalian tahu, jika kalian serius belajar, maka itu buat masa depanmu, bukan untuk aku. Camkan itu baik-baik!” kata Pak Ve-El, yang setiap hari mengendarai Motor CB 100 Warna merah ke sekolah. “Dang parsikkolaan ni ompungmu dohot bapakmu on, unang marmeam-meam ho marsiajar!” (Ini bukan sekolah kakekmu dan ayahmu, jangan kau main-main belajar!) lanjutnya ketus, sambil tangannya memelintir kumisnya. 

Saya pribadi, kewalahan mengikuti pelajaran fisika dan matematika masing-masing  delapan kali pertemuan setiap minggu. Banyaknya PR matematika, fisika dan kimia membuat kepala puyeng karena setiap hari pulang sekolah harus kerja di ladang atau di sawah. Tidak ada kesempatan mengikuti bimbingan tes apalagi privat les di luar jam sekolah. Dalam setiap ujian semester, saya hanya bertengger di bagian tengah saja. Wajar, saya gagal dalam seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) 1990. 

Saat teman-teman memasuki masa kuliah, saya diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Kehakiman Golongan I B. Pada tahun 1993 saya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan. Setelah lulus, tahun 1999 saya menjadi Calon Hakim dan diangkat menjadi Hakim Pengadilan Negeri tahun 2002. Tahun 2007, saya menjadi Hakim pada Pengadilan Negeri Tarutung. 

November 2009, saat ulang tahun Perayaan Hari Guru Nasional, yang diprakarsai Persatuan Guru Republik Indonsia, saya mewakili Ketua Pengadilan Negeri Tarutung menghadiri undangan Bupati Tapanuli Utara, di Gedung Serbaguna Tarutung. Bupati meminta setiap Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) menyampaikan pidato ucapan selamat hari Guru. Giliran saya tiba. Saya mengatakan “Pak Bupati, saat ini saya bisa menjadi seorang Hakim adalah berkat bimbingan Bapak Ibu  Guru yang ada di aula ini. Saya masih ingat jelas, Guru saya semasa SMA, kulitnya warna hitam, sorot matanya tajam, raut wajahnya ketat, susah senyum dan juga berkumis. Tetapi Beliau guru yang pintar, tegas dan disiplin dalam mengajar. Maka dari itu, Bupati tidak salah mengangkat beliau menjadi kepala Sekolah. Jika beliau ada di aula ini, dengan segala hormat mohon Pak Ve-El  berdiri!” tegasku. Dengan spontan Pak Ve-El langsung berteriak dan berdiri, melambai-lambaikan tangan untuk menunjukkan posisinya. Seketika, terdengar tepuk tangan riuh ribuan guru dan para pejabat yang hadir di aula itu. “Beliau bapak Viktor Lumban Gaol, Guru fisika kami waktu kelas II dan III SMA Siborongborong tahun 1988-1990” tambahku.  Dia tertawa lepas, hal yang sama sekali tidak pernah aku jumpai di ruang kelas. 

Waktu pindah ke Tarutung, saya sudah mendengar bahwa Pak Ve-El dipromosikan dari Guru SMA Negeri Siborongborong menjadi Kepala SMA Negeri 1 Sipahutar 2003-2009. Selanjutnya tahun 2009-2011 menjadi Kepala SMA Negeri 2 Siborongborong. 

Saat acara ramah-tamah, saya menghampiri Pak Ve-El. “Bagaimana kau bisa jadi hakim, padahal aku sudah capek-capek mengajari kau fisika?” katanya sambil memeluk saya. “Derman ini, anak didikku, sekarang sudah jadi hakim, hebat anak didikku ini,” ujarnya dengan riang memperkenalkan saya kepada teman-temannya sesama kepala sekolah.  Sama sekali tidak terlihat kerutan di wajahnya. Saya teringat kata Pak Ve-El waktu di ruangan kelas, “Jika kalian rajin belajar, itu untuk masa depan kalian, bukan untuk saya!” Saya berpikir “Saat saya dan mungkin ratusan anak didik Pak Ve-El ini berhasil, maka sesering itu pulalah beliau tertawa dan tersenyum. Senyumannya tidak ditemukan di ruang kelas, tetapi saat mengetahui anak didiknya sukses mencapai impiannya puluhan tahun berikutnya. 

Pak Ve-El, yang pernah menjabat sebagai Pengawas Dikmenum (Pendidikan Menengah Umum) Dinas Pendidikan Tapanuli Utara 2011-2012 ini, walau kulitnya hitam dan susah senyum,  tetapi hati  dan pengorbanannya tulus. 

Jika dulu, perkataannya sering kami maknai sebagai intimidasi, tetapi saat ini kami sadar, beliau melatih kami dengan keras, supaya siswa memiliki mental sebagai seorang pejuang, bukan pecundang. Segala sesuatu, harus punya alasan dan argumentasi yang jelas. Walau saya pribadi bukan menjadi seorang teknokrat, melainkan berprofesi di bidang hukum, justru didikan keras yang beliau lakukan menjadi pondasi utama saya dalam berpikir kritis. Bisa membangun argumentasi hukum dalam membuat putusan. 

Alumni Sarjana Muda IKIP Medan, dan Sarjana Fisika IKIP Al-Wasliyah Medan ini, telah telah banyak mengemban tugas dan jabatan sebagai Kepala Sekolah. Bukan hanya mengajar siswa, beliau juga sebagai Guru Inti IPA, mengajar Guru Fisika di Sanggar Pelatihan Kegiatan Guru (SPKG). Pastinya semua guru Fisika se-Tapanuli mengenal beliau dengan baik. 

Pak Ve-El adalah seorang “Guru di Atas Garis”. Tidak kenal lelah, beliau juga membagi waktunya untuk mengajar Fisika di SMA Swasta Dharmabakti Siborongborong dan SMA Swasta Butar. Terakhir Pak Ve-El menjadi Kepala SMP Negeri 1 Tukka, Tapanuli Tengah, sebelum pensiun tahun 2014. Setelah memasuki masa pensiun, beliau tinggal bersama istrinya Nursinta Nainggolan di Desa Lumban Holbung, Bahalbatu, Tapanuli Utara. Beliau dikaruniai 5 orang anak, 3 laki-laki dan 2 perempuan. 

Bukan hanya siswa, Para Guru pun bangga diajar Pak Ve-El. Sesekali beliau berselancar di sosial media, menyeruput kopi hangat sambil main catur di lapo (kedai). Saya bangga, menjadi anak didik Pak Ve-El, Bapak Drs. Viktor Lumban Gaol.   Terima kasih guruku, pengorbananmu tidak ternilai dan tidak tergantikan oleh apapun. 

Selamat hari Guru Nasional 2020. Jayalah pendidikan Indonesia. 

Disarikan dari Buku Cerita Guru Di Atas Garis, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, 2020. (Buku ini ditulis 14 orang guru dari berbagai wilayah, dan 4 orang profesional). 

*Wakil Ketua Pengadilan Negeri Subang, Jawa Barat

Tonton Video Clip KISAH BUKU TERBANGLAH RAJAWALIKU, Clik DI SINI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN