IBUKU, INONG DI ATAS GARIS, SOSOK KARTINI MASA KINI

IBUKU, INONG DI ATAS GARIS, SOSOK KARTINI MASA KINI

T. Nababan (Ayah), D. Sidabutar (Ibu), istri dan
SH. Siregar, SH Manalu (Mertuaku)
Pelantikan WKPN Subang, 8/11/2019
Masyarakat Batak, sangat menjungjung tinggi filosofi anak adalah harta yang paling berharga. Menyadari itu, Komponis Nahum Situmorang menuturkannya dalam liryk lagu “Anakkon hi do hamoraon di ahu” (anak adalah kekayaan bagiku). Lagu itu, mengisahkan kerja keras, banting tulang dari pagi hingga sore berjuang untuk penghidupan dan biaya sekolah anaknya. Hampir semua orang Batak tahu lagu berirama lincah dan girang itu. Tidak berlebihan,  lagu itu menjadi lagu wajib dalam pesta pernikahan maupun ulang tahun orang tua. 

Benar adanya, kaum pria sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun kebiasaan di kampung saya, justru peran ibu rumah tangga lebih dominan dari suaminya. Betapa tidak? Pagi hari saat suami minum kopi di lapo (kedai), istrinya sudah lebih dulu pergi ke ladang. Bahkan sore hari, ketika suami masih singgah di kedai, istrinya sudah sibuk mempersiapkan makan malam buat anak-anaknya.

Seorang suami, yang suka nongkrong di lapo, bukan aib bagi keluarga. Berbeda halnya, ketika seorang istri sigurbak ulu (pemalas), akan menjadi buah bibir penduduk seisi kampung. Pelan tapi pasti, pandangan itu mulai bergeser, namun hingga kini peran ibu sangat strategis mengantarkan anak-anaknya menapaki tangga keberhasilan. 

Inong Pangintubu ‘Ibu yang melahirkan’ saya Boru Sidabutar, Gelar Op. Tifany. Ia terlahir di sebuah dusun kecil di Sisordak, Kecamatan Hutatinggi, Tapanuli Utara 16 Agustus 1948. Masa itu, tidak banyak orang punya kesempatan mengecap pendidikan. Lagi pula, menyekolahkan anak perempuan bukanlah pilihan populer seperti sekarang ini. Opung Bao ‘orang tua ibuku’ juga petani miskin dengan delapan orang anak, tiga laki-laki dan lima perempuan. Jadi kesempatan sekolah hingga kelas 3 SR, sudah merupakan berkah tersendiri bagi ibu.

Ayahku T. Nababan, Gelar Op. Tifany Doli, lahir Desa Lumban Tongatonga, Siborong-borong,  11 Juni 1947. Mereka tujuh orang bersaudara, dua laki-laki dan lima perempuan. Lebih beruntung, ayah bisa tamat Sekolah Rakyat (SR), lalu ia merantau ke Sumatera Timur. Walau tamat SR, ayah tidak memiliki keahlian, selain piawai membuat sapu ijuk. Sapu itu dijajakan dengan lereng (sepeda ontel) buat mencukupi biaya hidupnya.

Sadar pekerjaannya kurang menjanjikan, ayah mencoba peruntungan ke Kota Medan, menarik becak dayung. Pada saat itu lah ayah menjual ijazahnya. Memang di bawah tahun 1970-an, seseorang yang sudah tamat SR, bisa diangkat jadi guru SR. Istilah itu disebut “Guru Sakkindat” (guru angkatan), tetapi ayah tidak tertarik. “Ijazah itu aku jual, supaya bisa menyambung hidup di Medan” kenang ayah polos, waktu aku tanyakan keberadaan ijazahnya.

Akhirnya ayah pulang ke kampung, membantu kakek, Rellus Nababan Gelar Ompu Longlang  (alm) bertani.

Baca juga:


Namboru ‘saudara perempuan ayah’ menikah dengan Amang Boru Marga Purba di Desa Sisordak. Ayah berkunjung ke rumah kakaknya itu sejauh 10 kilometer. Jalan kaki tentunya, melalui jalan pintas menyeberangi Sungai Aek Isa. Kesempatan emas! Ayah berkenalan dengan 'kembang desa' yang kelak menjadi istrinya. Namboru, merupakan ibunda dari Letkol CPL Jon Marti Purba, ALPAL Slogdam' Kodam III/Siliwangi tersebut sangat mendukung. Ia kenal baik dengan gadis yang polos nan lugu itu. Rajin kerja di ladang, melebihi seorang ibu rumah tangga sekalipun.

Mendapat dukungan sang kakak, ayah menyampaikan niatnya untuk mepersunting gadis desa itu kepada ompung (kakek). Sayang, kakek tidak punya uang buat “tuhor” uang mahar dan biaya pesta adat.  "Kita belum ada persiapan", kata Oppung. Akhirnya ayah dan ibu mangalua ‘kawin lari’, hanya diberkati oleh Pendeta, tanpa dihadiri oleh pihak Ompung bao (orang tua) dari ibu.

Satu tahun menikah, ibu melahirkan anak perempuan, Lamseria Nababan, S.Km, M.Kes tepatnya Natal 1969. Satu tahun dan tiga bulan berikutnya ibu melahirkan saya, tepatnya 25 Maret 1971.

Sejak pernikahannya, ibuku sudah menunjukkan kesungguhan dalam bekerja. Semua orang mengaku ibuku seorang Napadot ‘rajin kerja’. Tiada seorang pun tandingnya di kampung itu. Hari Minggu sore ibu mengolah tape, untuk dijual di pekan Selasa Siborongborong. Caranya, ubi direbus, didinginkan, lalu dicampur dengan ragi yang telah diayak. Ubi yang dibaluri ragi itu dimasukkan dalam hirang 'keranjang' yang telah dilapisi daun pisang. Dibungkus rapat, lalu ditempatkan di para-para ‘tempat penyimpanan kayu api’,  tergantung di atas tataring (perapian). Dua hari berikutnya, tape sudah matang. Sebelum dijual, kami biasanya menikmati satu hingga dua piring.

Ayah juga rajin kerja, tetapi terkadang ayah main judi. Ibu menyebut “Ayahmu ini Parjuji langis, alai parjuji talu” suka main judi tetapi kalah melulu. Giliran kalah, ayah melarikan diri dengan meninggalkan beban hutang kepada rentenir.

Bahkan ketika adik saya Anton lahir, ayah sedang melarikan diri. Sehingga Kakek menambahkan kata "Lari" di depan nama Anton, lengkapnya bernama Larianton. “Anak ini lahir, ayahnya dalam pelarian, kita tambahkan saja kata lari di depan namanya, sebagai pengingat perilaku ayahnya” tegas kakek Rellus Nababan (alm).

Pasca bersalin, seyogianya suami stand by untuk mempersiapkan kayu api, dan dibakar di tataring (perapian) untuk menghangatkan badan istrinya. Daerah itu cukup dingin, apalagi di malam hari. Maklum, daerah itu berada di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut (DPL). Maka saat itu, Tulang (paman) Derisma Sidabutar yang datang dari Sisordak untuk membelah kayu serta mengambil alih peran ayah membakar kayu api sebagai perapian setiap malam.

Kebiasaan ayah berulang saat bulan Desember. Jika tidak main judi, ayah mabuk minum tuak dan Kamput (kambing putih). Jika kalah, ia melarikan diri, tidak pulang jika tidak dijemput oleh ibu. Perilakunya seperti gadis cantik, yang selalu ingin dirayu dan diambil hatinya. Tetapi demi keutuhan keluarga, ibu banyak berkorban.

Suatu ketika di bulan Desember ayah kalah main judi. Usai perayaan tahun baru, tanpa pamit ayah pergi ke Sibolga. Mengetahui posisinya, ibu menyusul menjemputnya. Ibu melihat ayah menarik becak. Ibu mengajak pulang, tetapi ayah berkata “Saya janji mau rajin kerja, tetapi kita tinggal di kota ini saja”. Berharap ayah mengubah perilakunya, ibu bersedia. Mereka menjemput kami anak-anaknya, tiga orang, Kakak Lamseria, Aku dan Larianton (Alm).

Ayah mengontrak rumah di daerah Simare-mare, Sibolga Kota, dinding terbuat dari tepas, atap rumbia. Luar biasa, beberapa hari tinggal di kota itu, ibu sudah mendapat pekerjaan. Ibu tidak hanya di rumah menunggu suaminya. Setiap hari ibu menjemur ikan teri dan ikan asin di Pantai Sibolga. Penghasilannya bahkan melebihi ayah. Selain itu, setiap sore ibu kebagian ikan segar, pemberian para nelayan. Maka, ibu tidak perlu membeli ikan buat kebutuhan kami. Setiap hari, kami bisa bermain pasir di pantai. Kakak Lamseria menggendong adik Larianton.

Belakangan ayah jarang memberi setoran ke ibu. “Becak kita sering rusak, biaya perbaikan” ucap ayah meyakinkan. Merasa curiga, ibu mendatangi tempat ayah biasa mangkal. Ibu terperangah melihat becak terparkir, sementara ayah tidak ada. Rupanya ayah main judi lagi, namun temannya sesama penarik becak kompak merahasiakan tempatnya.

Merasa kesal, ibu membawa tempat duduk becak ayah ke rumah. Ayah tahu ulah ibu dari teman-temannya. Ayah pulang, “Aku tidak bisa narik, tempat duduknya dicuri orang” kata ayah membangun alibi. “Bagaimana tidak dicuri orang? kau asyik main judi” kata ibu menimpali. Merasa terpojok, ayah minta maaf, berjanji rajin kerja.

Suatu sore, ibu mendapat kabar ayah ditangkap polisi, karena main judi. Ibu bergegas ke kantor polisi, menangis sambil meratap. Air matanya membasahi wajahnya, membuat suasana kantor Polres itu gaduh. Tangisan ibu bahkan mengundang perhatian Kapolres, yang bersiap meninggalkan kantornya.

“Ibu, ngapain ke sini nangis-nangis?” tanya Kapolres, setengah membujuk.

“Suamiku Tumpak Nababan  ditangkap polisi tadi siang, main judi pak” jawab ibu terbata-bata, khas dengan logat Batak.

“Ibu boru apa?” sambung Kapolres

“Saya boru Sidabutar” jawab ibu menimpali.

Mendengar itu Kapolres kaget “Wah, aku juga Marga Sidabutar” katanya, sambil mengulurkan tangan menyalam ibu,  “Horas ma ito, duduklah dulu,” lanjutnya.

“Apa pekerjaan suamimu itu?” selidik Kapolres. 

“Narik becak dayung, disewa dari orang, saya sendiri jemur ikan asin pak” jawab ibu dengan linangan air mata.

“Kalau begitu, Ito pulang saja, tak perlu ketemu dia, ini waktunya sudah malam, biar aku yang mengurus” ujar Kapolres menenangkan ibu.

Besok paginya, ayah kaget dipanggil langsung menghadap Kapolres.

“Kau ini  bikin malu saja, sudah miskin, kerja narik becak, istrinya jemur ikan asin, tetapi masih saja main judi,  kasihan istri dan anak-anakmu” sergah Kapolres. “Jadi, hari ini tugasmu adalah membersihkan halaman kantor ini! Semua rerumputan kau cabut, kasusmu dilanjutkan atau tidak dengar saja nanti sore” jelasnya mengakhiri.

Usai serapan pagi, ayah dan temannya main kartu disuruh kerja bakti membersihkan seluruh areal kantor Polres. Sore hari mereka dikumpulkan, dinasihati dan disuruh menandatangani surat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya lagi, lalu mereka disuruh pulang.

Tiba di rumah, ayah meminta maaf, namun ibu terus menangis. Ibu berkata, “Sampai kapanlah kau berubah? Kami sudah mau ngalah hijrah ke sini, tanah di kampung sudah tidak terurus, aku berharap kau berubah, nyatanya seperti ini. Lalu bagaimana kelanjutan keluarga kita ini? Anakmu sudah mau masuk sekolah?” kata ibu sambil mengalihkan tatapannya ke samping. Setelah musyawarah, ayah dan ibu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, Desa Lumban Tongatonga.

~ Bersambung ~

Jika, Kartini merupakan putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bangsawan dan Bupati Jepara. Di masa kecil, Kartini sempat diperbolehkan untuk bersekolah di ELS (Europese Lagere School).

Beda, ibuku bukan putri seorang pejabat, kepala kampung pun tidak. Dia hanya putri seorang petani miskin, dengan delapan orang bersaudara. Namun, bagi kami anak-anaknya ibuku adalah laksana Kartini di masa kini, Inong di atas garis. Ibuku berjuang bukan hanya dengan kerja keras. Ia juga berjuang menghadapi perilaku buruk ayah. Namun, dia menghormati suaminya, dalam segala kekurangannya. Tidak pernah berpikir pulang ke rumah ayahnya, saat ayah melarikan diri dengan meninggalkan beban hutang, ibu melunasinya, sehingga sawah yang digadaikan bisa kembali. Bahkan ketika suaminya ditangkap Polisi atas perilaku-buruknya, ibu tampil membela. Walau hanya dengan ratapan, yang mengundang belas kasihan orang, termasuk Kapolres yang kebetulan satu marga dengan ibu. 

Anda tahu? Sepanjang tahun, padi selalu tersedia di lumbung rumah kami. Ibu bisa me-manage keuangan keluarga, sehingga kami tidak pernah terlantar. Semua bisa sekolah, pada akhirnya tahun 1991 ayahku mengalami pergulatan spritual dan menemukan titik balik pertobatan hidupnya dan menjadi seorang pelayan Tuhan.

Ketika saya diangkat jadi Hakim, bahkan menjadi Wakil Ketua Pengadilan di Balige, ibuku masih “Marrengge-rengge” jualan kaki lima. Terkadang ketika aku mengipap di kampung, hendak pergi ke kantor, ibuku menumpang sambil membawa barang dagangannya. “Dohot ahu tu onan da Amang!” (ikut saya ke pasar ya Nak!), ucap ibu kepada saya. Saya berusaha melarang untuk tidak jualan lagi, tetapi ia kukuh dengan pendiriannya. “Di pasar banyak temanku Amang!” ujarnya mengelak.

Bahkan sampai sekarang memasuki usia senja, ibu bersama ayah masih berkebun. Mereka merawat 400 batang jeruk manis dengan baik. Mereka bersyukur, saya bisa membantu mengumpulkan napu ni horbo  'kotoran kerbau' dari beberapa peternak kerbau di Balige, dikirim ke kampung untuk diolah menjadi kompos. Sampai saat ini, mereka berjuang tidak mengharapkan belas kasihan anak-anaknya.

Ibuku, sosok Kartini masa kini. Meminjam tag line penulis dan motivator Sabam Sopian Silaban, ia adalah Inong di atas garis. Kiranya Inong, sehat selalu, Tuhan Memberkati.

Kisah ini adalah cuplikan Buku Terbanglah Rajawaliku!

Derman P. Nababan ~ Wakil Ketua Pengadilan Negeri Subang

Walau sudah senja,  Ibuku masih bisa Martumba (Menari)







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN