MARMAHAN HORBO 'MENGAGON KERBAU'

MARMAHAN HORBO ‘MENGANGON KERBAU

(Sumber Web Senjata Rohani)
Dulu, selain memiliki hauma na bidang ‘sawah yang luas’, memiliki horbo ‘kerbau’ bisa juga menjadi alat ukur status sosial (prestise) suatu keluarga di Kampung. Sawah bernilai lebih karena dianggap dapat menghasilkan padi, sebagai sumber utama penghidupan. Sedangkan tanah darat, dianggap kurang bernilai.

Jika, seorang anak lelaki berumah tangga dan manjae ‘pisah rumah’ dengan ayahnya, akan diberikan “panjaean” berupa sawah sebagai modal utama bagi keluarga baru itu. Bahkan jika anak perempuan menikah, ayahnya akan setumpuk tano maraek (sawah) sebagai pauseang, kepada boru-nya tersebut.

Beda dengan sekarang, hampir 95 persen sengketa perdata di Silindung, Humbang, Toba dan Samosir adalah masalah tanah darat. Harganya semakin meningkat, seiring dengan proses pembangunan yang semakin masif. Jauh sebelumnya, hampir tidak ada orang yang memperjual-belikan tano mahiang (tanah darat).

Demikian halnya, setelah ayahku manjae pada tahun 1970 hingga tahun 1980-an sudah memiliki dua ekor kerbau. Tidak semua orang bisa memilikinya, harganya mahal. Selain itu, memelihara kerbau itu harus telaten, punya seni tersendiri.

Awalnya, ayah memiliki satu ekor kerbau jantan. Usai lepas susu dari induknya, kerbau kecil itu kami beli dari Lintong Nihuta. Saya dan ayah jalan kaki satu harian, sambil membawa kerbau tersebut, melewati Desa Lubis, Desa Butar hingga ke kampung kami di Desa Lumban Tonga-tonga. Cukup jauh, lebih kurang 12 kilo meter. Maka setelah sampai di Lintong Nihuta, kami menginap satu malam di rumah Ompung Siampudan, besoknya baru jalan, sambil menuntun anak kerbau itu. Saya ingat betul, waktu itu kami diberi makan, lauknya adalah ikan haruting (ikan gabus), diarsik, enaklah. Capek tentunya, tetapi hati girang, sudah punya satu ekor kerbau.

Setiap hari, pulang sekolah SD saya harus membawa kerbau itu ke anak sungai yang ada dekat rumah, namanya Aek Nasosaon. Kerbau itu, minum dengan lahapnya, setelah itu dimandikan. Biasanya jika matahari terik, ketemu air saja kerbau itu langsung merebahkan badannya supaya sekujur tubuhnya bisa terendam air. Cukup lama, bisa satu jam. Terkadang pada hari Minggu sore, badan kerbau itu dibilas. Daun pakis muda yang tumbuh di bibir sungai itu dijadikan sebagai sabun. Daun itu diulek-ulek hingga berbusa, lalu disapukan ke badan kerbau itu. Sorenya, saya harus menyabit rumput buat pakannya.

Memang, kerbau  harus bersih. Jika tidak, banyak lalat yang mengghinggapi. Itulah alasan, mengapa kerbau sering mengibas-ngibaskan ekornya, maupun daun kupingnya, untuk mengusir lalat, yang sering mengganggu.
Satu setengah tahun kemudian, kerbaunya sudah besar lalu di jual ke Tokke Horbo ‘Toke Kerbau’. Biasanya Toke datang, melihat menawar kerbau itu. Proses tawar menawar itu, biasanya dibantu oleh pihak ketiga, disebut dengan “Pandomu-domui”, bertindak sebagai mediator, membantu penjual sehingga harganya tidak terlalu rendah. Jika harga sepakat, mediator nya juga kebagian double porsi, dari penjual dan pembeli. Cukup buat biaya minum kopi di lapo  ‘kedai’ satu minggu.

Hasil penjualannya, ayah belikan dua ekor kerbau yang lebih kecil. Keduanya jantan. Saat masih kecil mereka akur, tidak pernah berantam. Tetapi setelah dewasa, keduanya sering mardugu (berlaga), jika sudah tahap emosi, susah benar melerainya, kayak manusia saja.

Kami, merasa memiliki tano parripean 'tanah ulayat' tempat penggembalaan kerbau, disebut jalangan Parbasiran. Terhampar luas, lebih 30 hektar tepatnya di lereng Bukit Dolok Imun, berbatasan dengan Desa Sibontar dan Desa Simarpinggan. Penduduk Dusun Lumban Tobing, Dusun Lumban Siantar dan Dusun Lumban Patik sudah sejak dulu menjadikan lahan itu sebagai “jalangan” (penggembaan kerbau). Ketiga Dusun itu dihuni Marga Nababan, Keturunan Oppu Balige Raja, termasuk beberapa klan boru yang telah diberikan tanah dan diresmikan huta ‘kampung’ nya, yaitu Batubara, Pasaribu, Samosir dan Lumban Toruan.

Beda dengan yang lain, kami melepas kerbau di jalangan itu hanya pada hari Minggu saja, kecuali hari biasa libur sekolah. Hebat, kerbau itu bisa kembali sendiri secara bergerombol, tetapi terkadang bisa ter-ikut dengan gerombolan kerbau orang. Jika tidak kembali, cukup dicari ke tempat penggembala lain, pasti ketemu.

Penduduk ketiga Dusun itu terkejut, Jalangan Parbasiran itu digugat oleh Marga lain di Pengadilan Negeri. Waktu itu salah satu pihak Tergugat adalah ayah saya dan seluruh penduduk ketiga Dusun itu. Di Pengadilan Negeri gugatan ditolak. Kami semua senang. Karena ketika dilakukan pemeriksaan lapangan, memang tampak secara geografis hamparan tanah jalangan itu dekat sekali dengan Huta kami, sedangkan si Penggugat hanya satu keluarga saja, tempat tinggalnya pun sangat jauh dari tanah ini.

Namun sayang, di Pengadilan Tinggi kami kalah, gugatan dikabulkan. Saat mau mengajukan kasasi sudah terlambat, maklumlah orang kampung tidak punya pengacara. Adanya hanya pokrol bambu, yang belakangan ditengarai 'main mata' dengan pihak Penggugat.

Jadinya, tanah jalangan Parbasiran itu, sebagai ulayat kami, hanyalah berupa ilusi dan perasaan belaka. Namun beruntung, saya lebih 5 tahun bisa mengagon kerbau di tanah itu. Itu sudah cukup bermanfaat.

Akhirnya jalangan parbasiran itu dieksekusi dan jatuh ke tangan orang lain, tentunya kecewa tidak bisa lagi menggembalakan kerbau di tanah itu. Padahal, seluk beluk tanah itu kami tahu betul. Dimana ada kubangan kerbau, maupun tempat kerbau istirahat, kami sudah tahu. Itulah realita, memang dahulu tanah di kampung tidak ada bukti tertulisnya, hanya mengandalkan tona kesaksian orang, secara turun temurun.

“Makanya kau harus rajin kau belajar nak! Lihatlah kita semua bisa kalah” kata ayah saya.  Memang, ada pepatah mengatakan, “Ijuk di para-para, hotang di parlabian. Nabisuk nampuna hata, naoto tu panggadisan” (orang bijak akan didengar sedangkan orang bodoh akan terjual).

Menyaksikan peristiwa itu, saya kecil selalu bertekat untuk terus belajar, supaya tidak jadi orang bodoh. Dan sekali-sekali jangan membodohi orang. Saya tidak pernah sakit hati kepada orang itu, dan juga kepada orang yang memutuskan perkara itu. Karena mereka semua manusia biasa. Aku hanya benci kepada kebodohan, "Jangan sekali-sekali dipelihara!" Pikirku kala itu.

Augustine berkata "Jika anda menderita akibat perlakuan tidak adil seorang jahat, jangan pernah membenci kepadanya, kalau tidak akan ada dua orang jahat!"

Sejak saat itu, tidak ada lagi kegiatan “Pajalanghon horbo”, paling di porlak 'ladang' (dibatasi benteng) ‘milik pribadi’. Dan jika usai musim panen padi setiap bulan Juni, kerbau bisa di lepas di sawah, tetapi harus dijaga. Kerbau bisa manunda ‘memakan’ tanaman palawija milik orang. Sankin kesalnya, ada juga pemilik kebun yang sampai membacok kaki kerbau itu. Jadi harus dijaga betul, kalau tidak bisa mardando (bayar denda).

Terkadang, sambil menjaganya makan rumput di hamparan sawah, aku sering menunggang kerbau itu. Menikmati angin berhembus, melihat burung jalak lompat-lompat mengejar belalang, angan pun mengembara. “Sampai kapan aku mendampingi kerbau ini? Apakah ada kehidupan yang lebih baik?” siapa yang bisa jawab, ya aku sendiri “Pasti, pasti. Aku tidak selamanya penggembala kerbau” gumamku meyakinkan diriku.

Jika anda lahir, besar di huta (kampung) usia di atas 40 tahun, pastilah pernah paling tidak menyaksikan orang seperti saya mengangon kerbau.

Tetap Semangat dan Antusias!

Derman P. Nababan

Iman, Kunci Keharmonisan Keluarga





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN