MARTINA

MARTINA

Husor  berjalan tergopoh-gopoh, sambil menenteng beberapa buku di tangannya. Memang, sore itu Husor ada janji dengan sesama temannya mahasiswa dari Kecamatan asal mereka. Latihan koor, buat persiapan Perayaan Natal. Husor, terpilih sebagai Ketua Panitia. Tidak mungkin ia absen, Ketua Panitia!

Rumah tempat latihan itu ada di kawasan Kampung Durian Medan. Melalui gang sempit, hanya bisa dilalui motor. Sejak satu tahun lalu, Anju bersama dua orang adiknya mengontrak rumah kecil itu. Anju, baru saja wisuda dari Universitas di Kawasan Tanjung Sari Medan, dan sudah mengajar di salah satu SD swasta. Walau tidak seberapa, Anju sudah dapat gaji bulanan.

Jarum jam, menunjukkan angka 5. Husor, tiba dengan peluh di dahinya.
“Horas!”
“Bah, horas lae! Masuk lae! Sahut Poltak dan Jamuda serentak.
“Aku pikir, aku yang sudah terlambat, rupanya Ketua masih belakangan” tambah Poltak sambil mengerutkan keningnya.

“Itulah tadi lae, aku langsung dari kampus. Angkot-nya susah benar” ujar Husor menimpali, sambil duduk bersila di lantai beralaskan karpet plastik. Selain Poltak dan Jamuda, sudah ada beberapa orang yang duluan sampai di rumah itu.

“Buat lah dulu teh manis itu lae Anju! dah mau tos hosakku (kecapekan) menuju rumah ini!” pinta Husor.
“Tenanglah lae, jangankan teh manis, jus markisa pun jika perlu, ada lae” sahut Anju dari dapur.
“Itulah yang buat aku senang sama lae, benar kan lae Jamuda!
“Tentu dong, makanya kita latihannya di sini saja!” kata Jamuda menimpali, mereka terkekeh. “Biar bangkrut aku, maksud lae?” sahut Anju. "Gaji honor guru, tahu lah lae!" Lanjut Anju.

Asysik bercerita, tiba-tiba Pintauli, Delima, Marni dan Rospita, datang.

“Horas Ito, maaf kami datang telat!” kata Pintauli.
“Horas, masuklah kalian ito, maafnya diterima” kata Husor. Husor salah tingkah, berdiri sambil menyalam mereka.
“Jika melihat Pintauli, langsung semangatnya Lae, kulihat” kata Anju mengomentari.

“Ahh, itulah lae? Namanya tamu harus langsung disalam, kan lae Poltak?”
“Jika Ketua sudah ngomong, pasti benar lah itu” ujar Poltak menimpali sambil mengangkat jempolnya.

Mendengar itu, Pintauli tersenyum simpul, “Ada-ada saja lah orang ito ini, tidak pernah putus kamus” ujarnya berseloroh, sambil melirik Delima dan Marni, seperti minta dukungan.

Pintauli, mahasiswa semester 6 Pendidikan Keguruan di Kampus Kawasan Jalan Pancing Medan. Parasnya cantik, rambutnya sebahu. Walau ia gadis desa dari Huta Sibange, tetapi sejak kuliah di Medan, kulitnya makin putih. Ia menjaga menu makannya. Maklum, Pinta jurusaan Tata Boga.

Pintauli, rajin mengikuti setiap kegiatan. Sudah empat kali pertemuan sejak rapat pembentukan Panitia, Pintauli selalu hadir. Walau lembut, tetapi nada suaranya tinggi, Pintauli menempati posisi suara Sopran.

Selain sebagai Ketua Panitia, Husor juga piawai melatih paduan suara. Sebenarnya ada Mordong, pelatih paduan suara, tetapi sudah kali pertemuan ia absen. “Gara-gara Lae Mordong ini, aku yang harus turun tangan” ujar Husor dengan nada kesal.

Memang, jika Mordong tidak ada, Husor yang mengambil alih peran sebagai pelatih.

Setengah jam berlalu. Husor, "Kita cukupkanlah dulu latihan kita ini" ujarnya, sambil melap dahinya dengan sapu tangannya. "Kita lanjutkan, warna sari saja, buat kesiapan kita nanti" tambahnya.

Puntauli, dan Delima, menyajikan teh manis dari dapur. Goreng pisang pun menjadi menu hidangan mereka sore itu.
(Bersambung)






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN