SIKO CIEK, DI SINI SATU!

SIKO CIEK, di sini satu!

Mei 1990, usai tamat SMA Siborongborong, ayah mengantarkanku dari Siborongborong  merantau ke kota yang amat asri, indah nan elok, Padang, Sumatera Barat.

Kami menumpang bis ALS (Antar Lintas Sumatera). Namun, hingga Kota Bukit Tinggi kami duduk di bangku tempel, penumpang penuh sesak.

Tiba di kota itu, kami diterima keluarga saudara sepupu Serka TNI S. Nababan. Mereka tinggal di kompleks Asrama TNI AD,  Lapai, Kecamatan Nanggalo, Kota Padang.  Memang, sepupu saya itu seorang Tentara.

Selain latihan kebugaran jasmani untuk persiapan tes calon Tantama TNI AD, saya juga ditugaskan merawat dan memelihara lebih kurang 400 ekor burung puyuh.

Merawat burung ini harus telaten, mulai dari membersihkan feses, kandang, memberi minum dan pakannya, semua dilakukan dengan penuh kehati-hatian. "Burungnya tidak boleh stress, kalau tidak mereka enggan bertelur!" Ujar S. Nababan (kini Mayor TNI, Kasdim 0314 Inhil, Tembilahan, Riau) mengingatkan saya.

Setiap minggu, saya harus membeli pakannya, naik angkot jurusan Steba - Pasar Raya. Keistimewaan penduduk Padang yang disebut Kota tercinta, marupokan kota nan paliang gadang di pasisia barat Pulau Sumatera ini hingga saat ini masih mempertahankan kearifan lokal, komunikasi dengan bahasa daerah.

Sebagai pendatang, tentu saya harus menyesuaikan diri mulai belajar bahasa Minang. Bukan sekadar pepatah, tetapi juga petuah orang tua "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."

Saya mulai mengerti "ciek" artinya satu. "Siko" artinya di sini. Setiap ada penumpang hendak turun dari angkot, dia bilang "Siko ciek", dan sopirnya berhenti, meminggirkan kendaraanya. Dalam benak saya itu artinya "di sini satu".

Suatu ketika, saya naik angkot bersama dua orang sahabat yang juga tinggal di rumah Sepupu itu. Hendak turun, saya katakan ke sopirnya "Uda, Siko Batigo!"  Dalam benak saya, kami ada tiga orang. Namun sang sopir sepertinya tidak peduli, terus saja jalan. Lalu saya ingatkan lagi "Uda, Siko Batigo!" namun sopir tetap melajukan kendaraannya.

Tentu saja dengan nada emosi, saya berkata, "Kok, Uda tidak mau dengar sih, Siko batigo!" Lalu seorang penumpang lain, ketawa tutup mulut menahan geli. Saya melotot, "Saya tidak salah, malah diketawain pula oleh beliau ini?" gumamku menahan emosi.

Lalu, salah seorang penumpang bertanya ke saya, "Adiak, pendatang baru iya?" Saya jawab "Iyo Uda". Lalu dia bilang, mau satu orang, dua orang, atau tiga orang, kalau mau turun tetap bilangnya "Siko Ciek".  Bukan siko baduo, atau siko batigo.

Mendengar itu, saya memalingkan wajah tersimpul malu. Barulah saya paham, siko ciek, artinya turun di sini. Ketika angkotnya benar-benar berhenti dan kami diturunkan, sudah kelewatan ratusan meter. Kami bertiga tertawa terpingkal-pingkal. "Bah, karuan saja lah kita ini" kataku.

Sejak itu, dalam benak saya timbul pemikiran memang hidup itu harus rileks, tidak boleh terlalu kaku (tidak mengartikan segala sesuatu secara harafiah), dan harus belajar memahami. Apa yang kita anggap benar, belum tentu bisa diterima orang lain. Karenanya jangan kita paksakan standar nilai kita kepada orang lain.

SIKO CIEK UDA...
Sambil makan telur puyuh rebus.

Tetap Semangat dan antusias
(Derman P. Nababan - Ketua PN Muara Bulian)

Kisah Pemuda Galau...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN