AYAHKU SUMBER INSPIRASIKU

#Ayahku_Sumber_Inspirasiku

Ayahku, Pdt. T. Nababan (73) lahir di lereng bukit Dolok Imun, sembilan kilo meter arah selatan Kota Siborongborong. Menikah dengan gadis cantik pujaan hatinya Boru Sidabutar (73) dari Sisordak, Parmonangan. Buah perkawinan mereka dikaruniai 7 (tujuh) orang anak. Lulus SR (Sekolah Rakyat), ayah bekerja sebagai petani kecil dan marrengge-rengge (jualan kaki lima).

Perjalanan hidupnya penuh warna, sulit dimengerti.  Mengapa tidak? Ayahku ini pekerja keras tiada tandingnya di kampung itu, namun di sisi lain punya kebiasaan buruk.

Setiap bulan Desember ayah suka minum minuman keras dan main judi.  Ibu menggelarinya sebagai "parjuji langis, alai parjuji talu" (pecinta judi, tetapi lebih sering kalah). Saat kalah main judi, melarikan diri ke Sibolga atau ke Kisaran, dengan meninggalkan beban hutang. Kerja, menarik becak dayung. Bagaikan "gadis cantik" ingin dirayu dan diambil hantinya, ayah tidak pulang jika ibu tidak menjemputnya. 

Benar-benar manja.

Di saat mabuk minum kamput (kambing putih) atau tuak, badannya panas mengeluarkan uap.

Satu kali lepas tengah malam, ayah belum juga pulang. Ibu menyuruhku dan kakak Lamseria  menjemputnya ke lapo (kedai) jarak 2 kilometer dari rumah. Benar saja, kami melihat ayah sudah mabuk, ia bernyanyi tidak karuan. "Aha arrooaa, adong karupuk, asa huuribaakkk?" (apa rupanya, ada kerupuk biar aku hancurkan), katanya sambil menepuk dadanya.

Saya dan kakak mengajak ayah pulang. "Mulak ma hita bapa, nga lewat tonga borngin!" (Pulanglah kita pak, sudah lewat tengah malam!) pinta kakak Lamseria kala itu. Jalannya sempoyongan,  ia terperosok dalam kubangan kerbau, di pinggir jalan yang berlumpur itu. Setelah kami bersihkan, ayah kami tuntun sampai ke rumah. Ia tidak sanggup menaiki anak tangga rumah itu,  kami mendorong tubuhnya dari belakang.

Kejadian yang sama berulang, hingga saya masuk SMA.

Di satu sisi, ayah seorang pekerja keras, tiada tandingnya di kampung itu. Hasil pertaniannya dijual sendiri di Pasar Siborong-borong, Tarutung hingga Pahae. Selain itu dia juga mulai belajar membeli hasil pertanian orang untuk dijual kembali.


Selain sebagai petani, setiap bulan Februari ayah pergi "mangombo" (upahan) panen padi di Tanjung Leidong, Labuhan Batu. Satu bulan bekerja ayah pulang, tak lupa ia membawa oleh-oleh roti kaleng Khong Guan. Betapa senangnya hati kami menyambut kedatangannya.

Ayah juga sering upahan menggergaji kayu buat bahan bangunan rumah ke daerah Sipirok,  Tapanuli Selatan, hingga ke Labuhan Batu. Mereka melewati  jalan setapak menembus hutan belukar yang masih "perawan".

Suatu kali, ayah pulang lebih dini dari teman-temannya. Bukannya membawa oleh-oleh, tetapi sekujur tubuhnya gatal-gatal.

Bersama temannya, ayah mandi di sebuah sungai di tengah hutan Sigolang daerah Sipirok, waktu itu musim hujan. Tanpa sengaja, ayah terkena getah kayu "Sitorngom" kayu beracun. Sekujur tubuhnya melepuh. Sejak saat itu, ayah mengurungkan niat pergi ke daerah itu.

Selain menunggu hasil panen padi, ayah juga menanam kacang tanah. Namun, babi hutan sangat menggemarinya. Ketika sudah mulai berbuah, ayah selalu mengajak saya tidur di gubuk ladang itu. Untuk menghangatkan badan, kami membakar tunggul kayu. Sekaligus kami membakar ubi dan jagung, mengisi perut yang kelaparan. Ayah menemani saya mengerjakan PR (pekerjaan rumah) matematika SD. Pemahaman matematika ayah  kala itu lumayan bagus, soalnya beliau sudah sempat tamat SR (sekolah rakyat).

Hasil pertanian kami di kampung itu lebih unggul dari orang kebanyakan. Wajar, ibuku juga ina napadot (perempuan rajin), melebihi kerajinan semua perempuan di desa itu. Kala ayah main judi, hidup kami tidak berantakan, walaupun ia melarikan diri dengan menggadaikan sawah. Bahkan dalam pelariannya,  ayah tidak pernah mengirim uang kepada ibu. Musim paceklik sekalipun, padi masih tersedia di poti (lumbung) kami.

Penasaran, dalam suatu kesempatan  saya memberanikan diri bertanya kepada ayah. "Ayah rajin kerja banting tulang, mencari nafkah kemana-mana, tetapi mengapa ayah suka mabuk dan main judi?"

"Saya sebenarnya tidak ingin melakukan itu, tetapi saat melihat teman-teman di lapo (kedai), ayah jadi ikut-ikutan".

"Mengapa ayah selalu kalah?"

"Ayah ini orangnya polos dan jujur, sehingga selalu kalah, orang lain bisa gerak cepat menyembunyikan dan membuang kartunya".

"Jika kalah, mengapa ayah selalu melarikan diri?" desakku.

"Ayah tidak mau berantam dengan ibumu", jawabnya menutup pembicaraan. Memang, bisa dimaklumi ibu adalah "Polisi Toba" (pengawas) dalam keluarga.

Ayahku suka bercanda, bercerita dan mendongeng kepada anak-anaknya. Dia menguasai cerita rakyat dari berbagai daerah, maupun lagu-lagu daerah, sehingga saya selalu ingin dekat dengan ayah. Saat ayah jauh melarikan diri membuat hati pilu, tidak ada teman cerita dan bertukar pikiran.

Sementara ibu selalu fokus dengan pekerjaan. Aturan dan disiplinnya amat ketat. Semua pekerjaan ditarget dengan tenggang waktu, kayak SOP (standar operasional prosedur) kekinian.

Ayah bercerita, "Dulu aku martandang (pacaran) ke tempat ibumu, jalan kaki melewati sungai Aek Isa ke Sisordak. Makanya, aku sangat sayang kepada ibumu ini". Ditambahkannya, "Aku lamar ibumu ini, karena walaupun masih gadis, dia pekerja keras. Jika perempuan sigurbak ulu (pemalas), ayah pasti tidak mau", candanya.

Terkadang ayah mengatakan "Pekerjaan ini harus kita selesaikan, nanti ibumu marah ke kita",  sambil ketawa. "Ada-ada saja", pikirku.

Puji Tuhan, akhirnya ayah tiba di satu titik pergulatan spritual, dia merubah prilaku buruknya. Tidak lagi main judi, menjauhi minuman keras dan rokok. Sebelumnya 3 bungkus rokok Union Filter dilahapnya setiap hari.  "Lebih baik tidak makan daripada tidak merokok" katanya dalam berbagai kesempatan.

Perubahan radikal itu terjadi, tatkala ayah berjumpa dengan Bapa Uda (paman) Alm. Pdt. J. Nababan gelar Op. Kesra di Medan. Ayah dinasihati, supaya hidupnya dipulihkan, anak-anak berhasil. "Abang harus meninggalkan cara hidup lama dan mendekatkan diri kepada Tuhan!" ujar paman sambil mendoakan ayah. Puji Tuhan! Sejak saat itu, ayah berubah, menjadi  seorang pelayan Tuhan. Dia mengabarkan keselamatan, bukan hanya untuk keluarganya, tetapi buat orang lain. 

Dulu badan dan bahunya kekar, siap menggempur sbeban kerja yang berat sekalipun.  Namun, di usia senja ini yang terlihat tulang rusuknya saja. Dia sudah terlalu capek, tetapi semangat hidupnya tetap membara.

Sebagai anak, saya bangga, dalam diri ayah tidak ada teal, late, elat dan hosom (tinggi hati, kesombongan, kebencian dan iri hati). "Sotung adong ginjang ni roha di hamu da amang!" (Jangan sampai ada tinggi hati dalam dirimu ya nak!) Katanya mewanti-wanti kami.

Terima kasih Ayahku, sumber inspirasiku.  Dalam kelemahan dan kekuranganmu, engkaulah pria terbaik  dalam hidupku. Kiranya Tuhan senantiasa memberikan kesehatan kepada ayahku. We love U

(Cuplikan Buku TERBANGLAH RAJAWALIKU, Kisah Inspiratif Seorang Cleaning Service Menjadi Ketua Pengadilan Negeri ~ Penerbit Andi Offset, Yogjakarta, 2020).

Tetap semangat dan antusias

(Derman P. Nababan - Wakil Ketua PN Subang, Jawa Barat)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN