GURUKU YANG MENGINSPIRASI

GURUKU YANG MENGINSPIRASI
(Hari Guru Ke-74)

Mengenang memori masa lalu adalah hal yang menyenangkan. Walau pengalaman itu konyol, susah dan sedih, namun berbagai peristiwa  memacu diri untuk lebih maju. Ya, perjalanan sudah panjang dan akan terus bergerak. Karenanya, finising well 'menyelesaikan dengan baik', adalah 'kata' penting menjadi pegangan setiap orang. 

Saya bersyukur bisa mengenyam pendidikan di SD Negeri 1733000 Lumban Tongatonga tahun 1978-1984. Kala itu, Bapak St. J. Sihombing (Alm) menjabat kepala sekolah, dengan wali kelas 6 Bapak St. T. Hutasoit. Mereka disiplin dan tulus dalam mengajar.

Tamat SD, saya diterima di SMP Negeri 3 Siborongborong (sekarang SMP Negeri 2 Siborongborong). Sekolah itu, sembilan kilometer dari rumah saya. 

Sebelum masuk SMP, ayah membelikan saya sebuah sepeda bekas (second hand). Warna biru, sport model, dibeli dari daerah Bandar Betsi, Kabupaten Simalungun.  

Asyik, bisa naik sepeda ke sekolah melalui Siambolas, Paniaran, Sitabotabo hingga ke Siborongborong. Terkadang menempuh jalan alternatif dari Hopong. Namun, karena yerlalu curam melewati pematang sawah, sehingga jalan itu jarang dilalui.

Belum terlalu mahir, saya sering terjatuh. Badan saya pendek dan kecil, maka untuk bisa mengkayuh sepeda itu, kaki harus berdiri ke kiri dan ke kanan. Wajar, celana saya menipis di bagian belakang hingga koyak.

Ketika itu, baju sekolah hanya ada 2 pasang. Jika celana koyak, ibu menambal sulam (mandukkapi) bagian belakang. Original, dijahit dengan jarum tangan. Celananya warna biru, benangnya warna putih, tidak heran jika bekas jahitannya tampak jelas.

Menggembirakan, ketika pulang sekolah jalanan menurun. Biasanya ada teman menumpang dengan berdiri di belakang.  Sepeda saya tidak mempunyai tempat duduk penumpang. Supaya nyaman, saya memanjangkan ass roda belakang sebagai pijakan kaki.  Dengan berdiri, penumpang memegangi pundak saya untuk menjaga keseimbangan. Terkadang gantian, saya yang dibonceng.

Tiba di rumah kira-kira pukul 14.00 WIB. Usai ganti pakaian, saya bergegas ke ladang sambil membawa kompos.  Sejak pagi, ayah dan ibu sudah membawa bontot buat makan siang  ke ladang. Nikmat tiada tara, walau nasi menggumpal keras, lauknya ikan asin dan sayur ikkau rata 'daun ubi tumbuk'

Eksekusi Hukuman Cambuk

Disiplin di sekolah amat ketat.  Setiap siswa yang terlambat masuk sekolah, diberi ganjaran hukuman cambuk. Alatnya terbuat dari “Pakkat” sejenis rotan diameter seukuran ibu jari kaki orang dewasa. Kepala sekolah Bapak Salomo Lumban Toruan, bertindak selaku eksekutor tunggal. Beliau kami gelari “Si Buntul” (si-bengkak), karena betis terhukum eksekusi cambuk, membengkak seperti badan lintah kenyang mengisap darah. Warnanya biru dan membekas satu minggu lebih. 

Raut wajahnya berkerut, tegang, hampir tidak pernah tertawa. Sorot tatapan matanya, bagaikan burung rajawali, hendak menerkam mangsanya. Ketika beliau kedapatan tersenyum, teman-teman berbisik “Ini pasti mau turun hujan (walau musim kemarau), kepala sekolah kita tersenyum”. Padahal, tidak ada kaitan antara senyuman dengan hujan. 

Saya sendiri pernah mendapat satu kali hukuman cambuk. Pedihnya minta ampun. Lebih sakit lagi, karena menanggung rasa malu terhadap sesama teman.

Kerbau saja tidak mau terjerembab dua kali ke dalam lubang yang sama. Sejak itu, saya pergi ke sekolah lebih awal. Tentunya menerobos tebalnya kabut awan di pagi hari. Namun, walau dingin sampai di sekolah, sekujur tubuh sudah keringatan. Mengapa tidak?Menuju sekilah, harus menaklukkan jalanan menanjak sejauh 9 kilometer.

Sebelum memulai aktifitas belajar mengajar, didahului dengan senam kesegaran jasmani (SKJ). Badan sudah kelelahan, sehingga saya sering mengantuk di ruang kelas. Lebih parah lagi air liur menetes "madede" berjatuhan ke buku.

Berbagai hukuman dari bapak dan ibu guru ngetren kala itu.  Ujung jari tangan disatukan, lalu dipukul pakai mistar. Ibu D. Br. Nababan, misalnya menghukum dengan cara menarik ke atas sedikit  rambut depan kuping. Pedih!  Setiap kena tarikan, air mata pastilah menyertai. Jika siswa ketahuan mengantuk, tiba-tiba ibu guru melempar wajahnya dengan penghapus papan tulis.  Lengkap sudah, semburan abu bekas kapur tulis mendarat di wajah. Terkejut, tersadar sambil mengusap bekas debu kapur tulis. Wow,  dapat bonus bedak putih. Siswa yang lain terdiam, jika tidak, hukumannya bisa merambat. 


Dulu, siswa sangat hormat kepada guru. Ketemu di jalan saja, siswa berusaha sembunyi. Menghindar, karena rasa hormat yang sangat. Siswa lebih menghargai guru daripada orang tua. Janganlah sampai ketemu di acara pesta! Rasanya malu, dianggap "mokkus" (rakus).

Hukuman yang dikenakan guru, tidak pernah dipandang sebagai kejahatan. Sebaliknya, ketika seorang siswa mendapat ganjaran, dapat menerimanya sebagai daya pengingat untuk tidak mengulangi kesalahan. Siswa tidak pernah membalas menyakiti gurunya. Itu pantang besar, walau hati terasa dongkol.

Siswa juga tidak pernah memberitahu orang tua, ketika mendapat hukuman dari guru.  Mengapa? Kuatir tambah kena hukum lanjutan dari orang tua. Guru dan orang tua adalah mitra strategis dalam mendidik anak.

Guruku menghukum bukan untuk menyakiti tetapi untuk kebaikan masa depanku. Bukan pula untuk diri dan keluarganya. Guruku menghukum dan menghardik sakitnya paling terasa beberapa saat. Namun, dampak ketulusan hatinya terasa hingga akhir hayat. Tanpa guru, kami tidak jadi manusia seperti sekarang ini.

Terima kasih guruku, pahlawan yang menginspirasi. Kebaikan yang kau lakukan, tidak pernah sia-sia.

Dirgahayu Hari Guru Ke-74, Tetap Semangat dan Antusias.

(Derman P. Nababan - Wakil Ketua PN Subang Kelas I B, Jawa Barat).

Kisah ini disarikan dari Buku Terbanglah Rajawaliku, Kisah Inspiratif Seorang Cleaning Service Menjadi Ketua Pengadilan Negeri. Penerbit Andi Offset, 2020. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN