Terbanglah Rajawaliku (Refleksi HUT 49)

#TERBANGLAH_RAJAWALIKU
(Refleksi Hari Ulang Tahunku ~ 49)


Ibu saya D. Br. Sidabutar (73) pernah bercerita kisah tragis yang pernah aku alami. Kebiasaan di kampung, bayi lelaki sulung yang telah berumur tiga bulan, untuk pertama kalinya akan dibawa “maronan” ke pasar membeli pisang. Pisang itu akan diberikan kepada Ompung-nya (Kakek si bayi), sebagai tanda ucapan syukur. Cucunya sudah bisa memandang dunia luar.

Dengan alasan tradisi itu, sekitar awal bulan Juli 1971 ibu menggendong saya dengan ulos “Parompa” (Kain gendongan) ke Pasar Siborongborong. Ibu saya, yang sempat mengecap pendidikan hingga kelas 3 SR (Sekolah Rakyat) itu jongkok hendak membeli sesuatu.

Sebagaimana perempuan lain, biasanya mencari harga yang lebih murah, ibu pun berdiri bergegas ke lapak pedagang  di sebelahnya. “Paling tidak ada perbandingan harga” pikir ibu muda yang berusia 23 tahun kala itu. Nahas, tanpa sengaja jumbai kain "Parompa" yang dililitkan ke badan saya, menyerempet gelas jualan pedagang itu hingga pecah.

Sontak, si pedagang menarik kain gendongan saya, untuk menahan langkah ibu. Saya terjatuh ke tanah, pingsan dan tidak bersuara. Kaget betul, ibu panik, berteriak, menangis sambil memeluk saya erat-erat.

Seketika orang ramai berkumpul, pengen tahu apa yang terjadi. Karena tangisan ibu, orang semakin ramai berkumpul. “Kasihan ibu ini, tidak bisa menjaga bayinya, bisa jatuh dari gendongannya?” kata mereka satu sama lain.

Ibu berpikir, riwayat saya sudah "tamat". Tangisannya pilu, air matanya meleleh, kedua tangannya memeluk saya erat menempel ke jantungnya. Orang-orang terdiam, tidak bisa berbuat sesuatu.

Namun, apa yang terjadi? Saya mulai menggerakkan tangan dan kaki, lalu  menangis, uaakk, uaakk... Ibu saya berkata, “Terima kasih Tuhan, Anakku masih hidup, masih hidup...” “Syukurlah, anaknya tidak sampai celaka” kata orang-orang menimpali.

Bisa anda bayangkan, saya anak lelaki sulung yang dalam tradisi Adat Batak mendapat perlakuan istimewa. Terus, jika terjadi sesuatu, bisa-bisa ibuku yang masih berusia muda itu dipulangkan ke Sisordak, Kec. Parmonangan, kampung halamannya, karena dianggap tidak cakap menjaga bayinya.

Setelah saya dibawa ke rumah, ayahku  berkata “Kita tambahkanlah nama anak ini Parlungguan”. Karena sebelumnya mereka menamai saya Derman.

"Parlungguan" artinya perkumpulan orang-orang. Maka nama lengkap saya adalah Derman Parlungguan.

Orang sebaya di kampung, mengenal nama saya Lunggu, bukan Derman. Jadi jika seseorang memanggil saya Lunggu, pasti dia orang kampung saya, atau keluarga dekat kami.

Saya mau katakan, sejak dari dalam kandungan ibuku, Tuhan telah mendandani aku, sampai hari ini, sudah 49 tahun, tetap berdiri karena kasih karunia Tuhan.

Kisah ini adalah cuplikan Buku “Terbanglah Rajawaliku, Kisah Inspiratif, Seorang Cleaning Service Menjadi Ketua Pengadilan Negeri”. Sebuah otobiografi, perjalanan anak kampung hingga memimpin sidang di Pengadilan. Suatu keajaiban, yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. 

Bagaimana saya harus melalui proses yang sulit dan masa-masa sukar, terjatuh dan gagal. Melalui itu semua, saya harus belajar “terbang" bagai anak burung rajawali. Terbang dengan "sayap" iman.

#Terbanglah_Rajawaliku, adalah pernyataan Iman, harapan dan doa.


Selama tiga tahun bertugas sebagai Ketua PN Muara Bulian, di sela-sela perjalanan pergi pulang Bekasi-Jambi, baik dalam bis Damri, maupun dalam kabin pesawat, memori masa lalu itu diputar dalam berbagai catatan. Terkadang memori itu muncul segar ketika berada di angkasa, saat turbulensi, atau saat pesawat delay

Beberapa bulan berteman di dunia maya, kami kopdar. "Bang, mengintip status dan aktifitas Abang di sosial media, saya melihat Abang Sosok Hakim di Atas Garis", kata motivator muda Sabam Sopian Silaban, Penulis Buku "Siswa Di Atas Garis" itu. "Jangan hanya di sosial media, ada baiknya kisah dan pengalaman abang itu dibukukan", tambah penulis buku "Guru Di Atas Garis" itu. 

Setelah saya renungkan, benar juga. Tetapi untuk mencetak buku butuh biaya. Saya bukan kelebihan uang, malah buku ini harusnya sudah dicetak bulan Desember lalu.

Syukur atas kerelaan istri saya, Rumata Rosinta Manalu tidak mendapat setoran gaji beberapa bulan, akhirnya rangkaian kisah ini bisa masuk ke percetakan. 

Doakan lebih kurang satu bulan ke depan bukunya sudah selesai dicetak, semoga menginspirasi banyak orang, memandang bahwa dirinya adalah laksana  "Rajawali", yang bisa terbang di atas badai. Karenanya terbanglah Rajawaliku!

Terima kasih YM Prof. Dr. H. Suoandi, S.H.,M.Hum, Ketua Muda Mahkamah Agung RI Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Kakanda Dr. Barita Lh Simanjuntak, S.H.,L.LM (Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia) yang menulis kata pengantar buku ini. 

Tetap semangat dan antusias.
Bekasi, 25 Maret 2020.

~ Derman P. Nababan ~

Komentar

  1. Kiranya menjadi berkat dalam setiap tulisan dan kesaksi kita masih ya amang.gbu

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih, anda telah mengunjungi web ini, kiranya menjadi berkat. Silahkan di share untuk kebaikan bersama.

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN