KECERDASAN EMOSI, SUATU KEHARUSAN

 KECERDASAN EMOSI, SUATU KEHARUSAN

*Derman P. Nababan

“Siapa pun bisa marah, itu hal mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah” (Aristoteles, The Nicomachean Ethics). 

Secara umum, emosi berkaitan dengan amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta dan rasa malu. Oxford English Dictionary mendefenisikan emosi sebagai setiap kegiatan atau pengelolaan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”.

Belakangan ini, telinga kita akrab mendengar istilah populer cabin faver.  Cabin fever adalah istilah untuk mengungkapkan perasaan sedih, sepi, takut, bosan, bingung, dan lesu saat Anda terperangkap atau terkurung di suatu tempat selama beberapa jam atau beberapa hari,” ungkap Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, Dr. Diana Setiyawati, sebagaimana dilansir ugm.ac.id 1/7/2020. 

Senada, dr. Gina Anindyajati, SpKJ dari Departemen Psikiatri FKUI-RSCM, sebagaimana dilansir Republika.co.id 26/4/2020, mengatakan "Orang yang mengalami cabin fever bisa merasa bosan, irritable (mudah marah dan tersinggung), kadang rasa putus asa, dan berbagai emosi lain yang tidak menyenangkan. Secara perilaku, orang dengan cabin fever bisa mengeluh sulit untuk fokus terhadap hal yang dikerjakan, restless (tidak bisa diam, mondar mandir, fidgeting)."

Benar, peristiwa yang terjadi di sekitar kita, sering kali mempengaruhi emosi. Realita tidak sesuai dengan harapan, bahkan bertolak belakang, memicu meluapnya kadar emosi. Misalnya, hubungan sosial begitu rapuh, ditandai dengan adanya aksi main hakim sendiri, terhadap seseorang yang kedapatan mencuri. Dia harus membayar mahal, bahkan hilang nyawa terhadap nilai benda yang tidak seberapa. Meningkatnya aksi KDRT dan longgarnya ikatan perkawinan, dengan kenaikan jumlah perceraian di pengadilan. Peningkatan itu justru terjadi di masa pandemi Covid-19 ini. 

Selama 18 tahun menjadi Hakim, saya sering menemukan pelaku tindak pidana adalah orang-orang yang tidak bisa menguasai emosi dengan baik. Aksi penganiayaan, pembunuhan dan pemerkosaan misalnya dilakukan oleh orang yang minim kecerdasan emosi. Mereka tidak mampu berpikir panjang. Tidak memiliki kesempatan untuk menakar baik atau buruknya akibat perbuatannya. Mereka akan selalu menyesal di hari kemudian. Mengapa harus menyesal? Karena, ia sudah memiliki waktu untuk menganalisa keputusan salah yang ia ambil, sehingga masuk penjara. 

Orang yang emosional, tidak bisa berpikir rasional. Ia selalu berpikir hidup di masa lalu. Ketika ia sudah melakukan kebaikan, namun masa kini menerima sebaliknya, ia tidak terima. “Aku selama ini baik sama kamu, mengapa sekarang kamu begitu jahat? Saya marah”. Ia berusaha menghidupkan dan menarik masa lalu di hari ini. Berharap maju, namun ia langkahnya mundur ke belakang. Suatu kemustahilan!

Keinginan membalas kesalahan orang lain adalah salah satu ciri pribadi emosional. Ia selalu ingin mengubah keadaan. Anda yang tinggal kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, pasti akrab dengan kemacetan lalu lintas. Apakah anda mengumpat pemerintah atau petugas karena tidak mampu mengatasinya? Atau sebaliknya anda mendengarkan musik, mendengarkan ceramah motivator handal yang berkualiatas? Jika anda disalip oleh kendaraan lain, apakah anda berusaha mengejar, sambil berkata “Kurang ajar!” atau anda berkata “Mungkin ia membawa orang sakit, mungkin saja istrinya mau melahirkan, silakan saja!”  Pilihan itu, menentukan kualitas kecerdasan emosi anda. 

Banyak terjadi kehancuran akibat keputusan orang-orang yang emosional. Hitler, pemimpin jenius tetapi tindakannya diktator. Saat menjabat sebagai Kanselir Jerman tahun 1933-1945, dia terobsesi menguasai dunia. Hitler menjadi tokoh sentral timbulnya Perang Dunia II di Eropa. Tidak kurang dari 50 juta manusia tewas pada masa itu.  Ia juga tidak bisa menerima kehebatan orang-orang Jahudi, yang terkenal kecerdasannya. Ia melakukan genocida ‘penghancuran sistematis’ terhadap etnis Yahudi. Sekitar 6 juta atau dua pertiga jumlah Yahudi di Eropa tewas di tangan Hitler. Mengerikan, mereka tewas dalam kamp konsentrasi secara keji, peristiwa yang dikenal dengan istilah holocaust.

Seperti dilansir Tribunnews.com 15/5/2015, tak kalah bengisnya misalnya Stalin, Mao Zedong atau Polpot. Saat ini, Kim Jong Un meneruskan kebijakan pendahulunya, pemimpin diktator yang paling ditakuti. Siapa saja orang di negaranya yang dicurigai memiliki pandangan politik berbeda pasti dibunuh. Jangankan pihak lain, keluarga dekat termasuk  pamannya sekalipun hilang di tangannya. 

Emosional, suatu sikap yang membabi buta, semua orang harus sama dengan dia. Maka, saat seseorang dikuasai emosi, tidak akan pernah bisa memahami pendapat orang lain. Nilai dirinya mengenyampingkan nilai universal, siapa saja salah di matanya. Ya, itulah kebutaan emosi. 

Dilansir CNN Indonesia (10/9/2020), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan setiap detik terdapat satu orang yang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Artinya, terdapat 800 ribu orang tewas karena bunuh diri setiap tahun. Bunuh diri sudah menjadi masalah kesehatan emosi masyarakat global. Pemicunya, adalah ketidakmampuan korban dalam mengatasi depresi, amarah, penghianatan, kegagalan cinta, kemiskinan dan penderitaan lain. 

Ketidakmampuan mengelola emosi bisa membawa kehancuran, bukan hanya bagi orang lain tetapi juga bagi dirinya sendiri. Kecerdasan intelektual (IQ) memang perlu. Tetapi kebanyakan orang yang cerdas secara emosi akan lebih sukses daripada yang memiliki IQ tinggi. 

Mengapa bisa demikian? Silakan analisa sendiri. Ingat, siapa teman-teman juara kelasmu waktu di SMP, SMA. Secara akademik mereka menonjol, tetapi dalam kepemimpinan OSIS partisipasi mereka minim. Hal itu akan berlanjut hingga kuliah, bahkan setelah bekerja. Orang yang memiliki IQ tinggi cenderung menutup diri dan kaku dalam bersikap. Tentu, dalam kepemimpinan modern hal itu kurang menguntungkan. Seorang pemimpin, harus bisa bekerjasama dan memercayai orang lain. Hal yang sering disebut cakap dalam dinamika kelompok. Kerjasama membutuhkan empati, pemahaman dan saling pengertian. Pemimpin yang baik bisa mengelola emosinya dengan baik.

Reinhold Niebuhr (1892-1971), mengajarkan kita doa keheningan hati. “Ya Tuhan, berikanlah aku keheningan hati untuk menerima apa yang tidak bisa aku ubah. Keberanian mengubah apa yang seharusnya aku ubah, serta kebijaksanaan untuk membedakan kedua hal itu”.

Ribuan tahun lalu, Raja Salomo memberikan pesan bijaksana kepada kita. “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” (Amsal 16:32). Orang yang bisa menguasai diri menjadi pahlawan, pemenang dan selalu terdepan. Dalam masa sulit sekalipun mereka tetap optimis. 

Lebih lanjut, Raja Salomo menegaskan,  "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang". (Amsal 17:22). Bukankah orang yang bersemangat adalah orang yang memiliki kecerdasan emosi? Sebab, menurut raja yang terkenal karena kebijaksanaannya itu, "Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?" (Amsal 18:14).

Di masa pandemi global ini, dibutuhkan kecerdasan emosi, sehingga semangat kita tetap menyala, harapan kita tetap tertuju pada masa depan yang lebih baik. Dengan cara itu, imunitas tubuh kita tetap terjaga. 

Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan. (Amsal 4:23). 

Tetap semangat dan antusias!

*Penulis Buku Terbanglah Rajawaliku, Kisah Inspiratif Seorang Cleaning Service Menjadi Ketua Pengadilan Negeri, Andi Offset, Yogjakarta, 2020





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN