CINTA DAN AIR MATA DI PERSIMPANGAN JALAN

Cinta Dan Air Mata, Di Persimpangan Jalan
(Kisah Nyata, Suami Istri Sepakat Minta Cerai)
(Gambar Ilustrasi)

Pagi itu, udara sejuk dan mentari pagi memancarkan kehangatan cahyanya. Bagi saya spesial, betapa tidak, hari itu merupakan ulang tahun saya, 25 Maret 2019.

Belum sempat breakfast 'serapan pagi' di hotel, saya menyetir sendiri kendaraan roda empat dari Jambi. Sedikit buru-buru, memastikan tidak terlambat memimpin apel pagi di Kantor Pengadilan Negeri Muara Bulian.  Jarak tempuh kedua kota itu, lebih kurang satu setengah jam.

Walau udara sejuk, mentari bersinar cerah, namun tidak demikian dengan suasana hati saya.  Benar-benar jengkel. Mengapa tidak? Setibanya di kantor, Iwan, petugas cleaning service yang biasa membersihkan ruangan kerja saya berkata, "Maaf Pak Ketua, kunci kamar kerja bapak rusak." Sedikit kesal, saya katakan "Segera perbaiki!"  Usai memimpin apel, saya ke kantin cari serapan. Namun, pelayan kantin juga berkata, "Maaf pak Ketua, gas kita habis, tunggu sebentar ya pak", katanya dengan suara gemetar. 

Duduk sejenak, termenung akan tema khotbah yang saya sampaikan di Minggu (24/03) sebanyak 5 sesi di GBI Abadi Jambi tentang "Bayar Harga", "Saat ini pun aku harus bayar harga" pikirku sambil memegangi dagu.

Setelah dikabarkan kunci ruangan kerja bisa dibuka, saya masuk, oh ternyata saya telah "dikerjain" oleh para anggota saya. Mereka mendandani kamar kerja saya, menyiapkan kue ulang tahun dan nasi tumpeng. Para pegawai dan hakim berada di dalam ruangan, serentak mengucapkan "Selamat ulang tahun Pak Ketua..." Wah, strategi mereka berhasil. Kerja sama dengan istri saya jarak jauh dari Jakarta.

Mereka mengerjain saya membuat hati kesal berujung suka cita. Tidak berselang lama,  saya kedatangan tamu istimewa, sepasang suami istri. Pasangan ini sudah menikah belasan tahun dan punya satu orang anak.

Saya perhatikan, pasangan ini sepertinya tidak saling kenal. Jangankan mengumbar senyum, kontak mata pun mereka haramkan. Walau saya silakan duduk berdekatan, terkesan ada "tembok pembatas" memisahkan mereka.

Mengawali pembicaraan, saya menanyakan maksud kedatangan mereka. Sang suami berusaha "menguasai panggung" langsung bercerita panjang lebar. Intinya mereka berdua telah sepakat mengakhiri biduk rumah tangga yang telah mereka bina selama belasan tahun. "Terlalu sakit pak, saya tidak kuat lagi jalan bersama Mak Lestari (samaran) ini", ujarnya dengan nada ketus.

Puas, menceritakan tuduhan ketidak becusan istrinya, lalu saya katakan kepadanya "Banyak sabar iya Lae!", dia lalu geleng kepala seolah tak percaya, sementara istrinya tertunduk lesu.

Kini, saya minta giliran istrinya berbicara. Dia menuturkan keluh kesahnya lebih panjang lagi. Seperti melewati jalan yang berliku, kelokan tajam dan curam, terakhir dia bilang "Pak, sebenarnya saya yang tidak kuat hidup bersama Pak Lestari ini, selama ini saya tidak pernah dianggap sebagai istrinya. Dia, lebih percaya kepada saudaranya daripada saya, sudahlah sampai di sini saja pak", urainya lirih dengan linangan air mata. Lalu saya katakan "Banyak sabar iya ito".

Kemudian mereka saling menyela pembicaraan. Hal itu saya biarkan saja sambil mengamati bagaimana cara mereka berkomunikasi, yang penting mereka puas. Benar saja, hal itu berlangsung hampir dua jam. Saya berkata, "Memang cinta dan air mata", adalah dua kata yang tidak terpisahkan.

Capek mereka adu mulut, saya persilakan minum air mineral. Saya katakan "Aku salut dan hormat sama Pak Lestari ini, dia adalah model suami yang menginginkan kesempurnaan istrinya. Namun persoalannya, ketika tidak menemukan itu, anda kecewa sehingga kadar cintamu drop hingga ke titik nadir yang paling rendah.  Seperti ketika anda berdua belum saling kenal, maka anda datang ke sini". 

Selanjutnya saya katakan ke istrinya, "Aku perhatikan Anda wanita luar biasa, seorang melankolis, mengharapkan cinta, perhatian dan kasih sayang lebih dari suamimu. Namun, ketika itu tidak anda dapatkan, air matamu bercucuran. Anda berpikir, kamu bukanlah istrinya, hanya sebagai penumpang di rumah, akibatnya kadar cintamu menjadi tawar."

Lalu saya beri penegasan, "Masalah anda berdua, adalah masalah biasa, yang juga dialami oleh banyak pasangan di dunia ini."  "Anda bukanlah pasangan suami istri yang gagal, bukan pula pasangan yang tidak sepadan." "Aku perhatikan Anda berdua memiliki semangat hidup dan semangat kerja yang baik" karena mereka suami istri sama-sama bekerja.

Saya mencoba mengurai masalah mereka. Saya katakan "Masalah kalian hanya satu, yaitu kurang memahami satu dengan yang lain. Sejujurnya, kalian merindukan  rumah tangga yang langgeng dan diberkati, tetapi anda berdua terlalu fokus mengharapkan itu datangnya dari pasanganmu." "Seharusnya, sebagai suami anda harus bisa menjadikan istri mu seperti layangan, dan kamu adalah anginnya. Supaya istrimu bisa terbang melayang, maka talinya harus anda tarik ulur! Kau hembusi istrimu dengan angin kasih sayang, niscaya istrimu akan terbang melayang!" ujar saya memberi nasihat.

Saya tambahkan lagi, "Demikian juga kamu istrinya, jika suamimu pulang kerja, jangan kau tuntut dia langsung memelukmu. Katakan kepadanya selamat sore sayang, kamu pasti capek dan haus, pijat-pijatlah punggungnya dan berikan minum air segar, niscaya cintanya makin hangat."

"Mulai sekarang, mulailah jalan bersama dan seringlah kau pegang tangan istrimu, supaya kasih sayang anda berdua selalu melekat!"

Lalu saya tambahkan, "Anda tahu hari ini ulang tahun aku, kedatangan anda berdua adalah kado istimewa bagi aku. Atas kehadiran anda berdua, aku sangat senang, sebagai tanda suka cita, aku akan berdoa untuk keluargamu" setelah itu saya pimpin doa buat mereka.

Usai berdoa, saya mulai mengamati  raut wajah mereka sudah berubah, tidak lagi tegang dan sudah mulai curi pandang. "Tidak ada orang yang ahli dalam rumah tangga, semuanya butuh proses dan harus dibangun. Maka sekarang, bangun dan buktikanlah cintamu dengan cara berpelukan!" Pinta saya tegas.

Tidak mau berlama-lama, sang suami dan istri bangkit dari duduknya. Mereka berpelukan dengan linangan air mata. Benar-benar, bagai sahabat yang baru saja ketemu, setelah puluhan tahun tak bersua.

"Memang cinta dan air mata tidak bisa dipisahkan. Surat kesepakatan cerai kalian ini silakan dibakar. Aku berdoa anak kalian nanti bisa menjadi seorang hakim" ujarku mengakhiri.

Mereka pulang dengan damai sejahtera.

(Derman P. Nababan - Ketua PN Muara Bulian)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN